Cerpen Etik Juwita
Sundari
sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang
majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.
"Cundaliiii!!"
jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar,
ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti
sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi
majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan
nyonyanya.
Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang
telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada
yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore,
Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah
pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali.
Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin
cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya
terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari
menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig
dug jantungnya berirama bingar.
"Look!!" jari lentik majikannya
menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati
setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa
saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir
mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak
mengerti.
"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot
ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa
hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin
Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya
yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu
menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu
bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi,
menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan
barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.
"Nnn...
no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar
jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris
tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang
sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari
semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin
sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam
yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa
Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan
pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah
majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil
sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo
meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam
mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin
menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari.
Tangisnya semakin keras, meraung-raung.
Sehari itu, Nyonya
mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya
menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya.
Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke
dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya,
Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk
tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar
rumah, cuma mengangguk-angguk.
Sundari mulai mampu meraba apa
yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada
Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya
untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu
argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya
mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan
kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang
orang yang cemburuan.
Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika
persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari
agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong
Kong.
"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja
tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian
pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat
sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.
***
"Indonesia,
hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang
mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"
Sundari
tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di
sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski
Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa
akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing
patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha
memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah
bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan
yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara
sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang
suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis
sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas
menggurat di wajahnya yang bulat.
Lalu Marni, gadis di sebelahnya
itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu
tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.
"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"
"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"
Sundari
bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah
jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya
bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."
Mengingat nasibnya,
nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar.
Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu
masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat
kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat,"
katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa
pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.
Marni cuma mengangguk sambil melongo.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar